Cerpen Pak Didit Setyo Nugroho, dimuat di Majalah BOBO tahun 2006
Paman Harjo seorang nelayan di waduk Gajah Mungkur. Sebelumnya ia seorang petani. Sebelumnya lagi ia seorang pekerja di percetakaan. Begitu musim PHK, ia pulang kampung untuk menjadi petani. Akan tetapi, saat itu waduk Gajah Mungkur dibangun. Selain untuk menampung air, dinas perikanan juga menabur banyak bibit ikan. Maka Paman Harjo akhirnya beralih pekerjaan menjadi nelayan.
Bersama isterinya ia membangun warung apung di atas waduk. Drum-drum diikat di sekitar warung apung agar tidak tenggelam. Mereka menyebutnya sebagai karamba. Warung apung itu berupa restoran yang menjual makanan dengan lauk ikan. Juga dipakai untuk memelihara ikan dengan jaring-jaring yang direndam di dalam waduk. Ikan-ikan peliharaan maupun hasil tangkapannya diolah dan disajikan Bibi.
Langganan Paman kebanyakan pendatang dari jauh. Bila ingin ke warung apung Paman, mereka cukup memberi kode dari tepi waduk. Kemudian Parmin, pembantu Paman Harjo, akan menjemput mereka dengan perahu tempel. Para tamu sangat senang. Mereka bisa menikmati keindahan tumbuh-tumbuhan di sepanjang waduk Gajah Mungkur. Juga merasa berdebar saat berada di atas kapal kecil diombang-ambingkan riak air tawar.
Dalam silsilah keluarga, Paman adalah adik laki-laki Ibu. Sampai hari ini Paman belum dikaruniai seorang anak. Itu sebabnya, bila liburan tiba, Paman sering menjemputku ke Jakarta. Tentu saja untuk diajak berlibur di rumah Paman.
"Hati-hati di sana! Jangan menyusahkan pamanmu, ya!" pesan Ibu sewaktu kami berangkat.
Hidup di tengah sungai terasa begitu dingin. Tetapi pemandangan di waktu pagi luar biasa indahnya. Waduk itu cukup luas. Tampak air sejauh mata memandang, dengan batas-batas gunung yang menjulang. Kapal-kapal kecil nelayan berserak dan bergoyang-goyang kecil dipermainkan riak air.
"Ayo, ikut ambil ikan," seru Paman dari kapal kecil dengan mesin tempel di belakangnya. Mula-mula aku takut. Tetapi Paman mengangkatku dan memasukkan tubuh kecilku di atas kapal. Kurasa mukaku pucat.
"Hati-hati, Pak! Andi kan belum terbiasa," seru Bibi dari atas karamba. Paman hanya tertawa.
Kapal kecil itu begitu lincah menyusur membelah air waduk. Air yang tersibah di belakangnya seperti ular raksasa yang kemudian lenyap dalam riak. Kami akhirnya tiba di apung-apung, yaitu tanda tempat Paman meletakkan jaringnya. Kapal lalu dihentikan. Tangan-tangan kukuh Paman segera mengangkat jaring. Beberapa ikan yang terjebak menggelepar mencoba melepaskan diri. Paman memegang ikan itu dan memasukkan ke dalam 'kepis' yang sudah dipersiapkan.
"Ayo angkat dan pegang!" teriak Paman. Aku mencoba meniru Paman walau agak takut. Tetapi lama-lama aku jadi keasyikan sendiri. Di sini Paman mengajariku banyak hal. Dari cara menagkap ikan, membelah, membersihkan sisik, sampai pada cara memasaknya. Aku paling suka pepes ikan nila.
Rasanya puas sekali ketika mengangkat jaring-jaring yang sudah dipasang semalam. Ikan-ikan itu bergoyangan mencoba melepaskan diri dari mata jaring.
Kemudian kami membawa pulang ikan-ikan itu, memasaknya dan menyajikannya di warung makan Paman. Yang masih hidup dan segar kita masukkan ke dalam karamba.
"Ikan-ikan ini adalah persediaan untuk kita taburkan saat tidak musim ikan," kata Paman sambil menaburkan makanan di karamba. Beberapa ikan berebutan menyambutnya. Aku ikut-ikutan menaburkan.
"Warung itu akan ramai bila ada acara-acara di tempat ini. Misalnya lomba dayung, lomba ski air ataupun lomba layang gantung," Paman menerangkan.
Ternyata waktu begitu singkat. Besok keluargaku akan menjemputku kembali ke Jakarta. Pagi-pagi sekali sebuah mobil kijang warna metalik sudah berdiri di bibir pantai. Dari sana Ayah, Ibu dan adikku melambaikan tangan. Paman bergegas mengambil kapal tempel dan menjemputnya.
"Baru beberapa hari di sini kamu sudah jadi gemuk. Makan ikan terus ya?" ledek Ayah. Aku tersipu.
"Cuma jadi agak hitam. Tapi malah bagus untuk anak laki-laki," sahut Ibu.
Paman dan Bibi menyuguhi kami ikan bakar yang sangat harum dan gurih rasanya. Aku sudah berkali-kali menyantap makanan itu. Sehingga aku hafal betul kelezatannya.
"Apa yang paling menarik bagimu di sini," tanya Ayah.
"Menyambut dan mengantar matahari pulang," jawabku pendek.
"Memangnya di Jakarta tidak ada matahari?" tanya Paman.
"Ada, Paman. Tapi terhalang gedung-gedung bertingkat. Itu mungkin yang menyebabkan orang-orang Jakarta kehilangan perasaan. Mereka tidak pernah mengerti keagungan ciptaan Tuhan. Tidak pernah tahu betapa kecilnya kita di tengah alam yang luas ini... "
Bapak dan Ibu tertawa terbahak-bahak.
"Kau ajari apa anakku selama ini? Puisi tentang kehidupan, ya?" tuduh Ibu pada Paman sambil tertawa. Saat itu matahari begitu indah menyusup di tengah warung karamba.