Dimuat di Harian Solopos / Edisi : Sabtu, 15 Januari 2011
Kematian merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap makhluk hidup. Hakikat hidup adalah sebuah kematian yang tertunda. Maka, bersiaplah untuk menghadapi kematian yang sesungguhnya.
Di era sekarang, banyak manusia yang mengalami “kematian” sebelum kematian yang sesungguhnya, yang disebabkan oleh ketumpulan akal pikirannya, perasaannya, hatinya, spiritualitasnya dan bahkan rohaniahnya.
Mengapa hidup di dunia ini menjadi sangat berharga? Benarkah hidup memiliki tujuan dan makna? Atau hidup ini sesungguhnya hanya kebetulan tanpa tujuan dan makna sama sekali? Adalah Martin Heidegger yang menyebutkan bahwa, “Hidup manusia adalah suatu kehadiran yang tertunda ke arah kematian.”
Pemikiran yang demikian adalah berlatar belakang pada manusia yang akan mengalami kematian, meskipun hakikat kematian masih menyimpan berjuta-juta misteri yang belum mampu untuk diungkapkan hakikat. Jangankan sebuah kematian, sebuah lagu atau puisi saja mengandung sejuta makna, tergantung pada setiap manusia yang menginterpretasikannya. Dari sebuah kematian, yang pernah mengalami NDE (Near Death Experience) atau mati suri bahwa peristiwa kematian yang pernah dialaminya seolah merupakan pisahnya ruh dan jasmani.
Secara psikologis, peristiwa ini memengaruhi perilaku manusia. Perilaku manusia yang pada dasarnya baik (baca: fitrah), juga menurut hukum positivisme, akan cenderung mempertahankan kebaikan tersebut, demi ketenteraman dan kebahagiaan manusia di dunia sebelum mengalami kematian. Sedangkan secara rasional, manusia diberikan kelebihan oleh yang Maha Hidup dari makhluk apa pun berupa akal/pikiran, perasaan dan kemauan. Ketiganya akan menjadi sangat bermakna apabila secara sinergitas dikelolanya, “dikendalikan” secara bersama.
Kadang, kita tidak pernah menyadari bahwa Tuhan senantiasa bersama kita di mana pun, kapanpun, dalam keadaan apapun kita berada. Dia Maha Melihat atas segala sesuatu yang kita kerjakan. Tuhan mengangkat derajat manusia di sisi-Nya karena iman dan takwa, iman dan amal saleh dan ilmu pengetahuan dan seterusnya.
Kualitas manusia di sisi-Nya bukan terukur dari ukuran pangkat, derajat, harta benda, materi atau jabatan. Kita bahkan telah kehilangan kesadaran diri (unconsciousness), tidak menyadari bahwa Allah mengukur kualitas, bukan dari sesuatu yang tampak, tidak tampak, bukan pada aspek eksoterismenya, tetapi juga isoterismenya. Tidak adanya sinergitas dari ketiga potensi yang ada, hidup manusia menjadi hampa, tidak bermakna, absurd laksana fatamorgana.
Ada beberapa alur dan tujuan kehidupan manusia, yaitu hidup manusia adalah bersifat linier, berjalan ke depan seperti garis lurus. Ada yang beranggapan seperti spiral atau bagaikan daur ulang (siklus). Di samping itu, ada yang berpendapat bahwa hidup manusia tidak bermakna dan tidak bertujuan. Sedangkan yang kedua, menganggap hidup ini penuh dengan makna dan tujuan yang jelas (Nurcholish Madjid, 1992).
Ada pula kaum optimis yang membagi menjadi dua golongan, yaitu golongan agama dan golongan komunis. Kaum komunis termasuk golongan optimis, namun sangat terbatas pada sisi keduniawian. Mereka cenderung antiagama, terciptalah agama semu (pseudo religion). Mereka menolak kematian sebagai transitory (peralihan), seperti lazimnya kaum pemeluk agama. Khususnya mengenai hakikat akhir hayat manusia karena pandangannya terhadap kematian sebagai pemusnah pribadi, baik jasmani maupun rohani. Hal inilah yang menyebabkan mereka antiagama.
Sedangkan bagi kalangan sufi, kematian diyakini sebagai pintu gerbang menuju taman kehidupan yang baru yang lebih indah, setapak mendekati “kekasihnya” (Tuhan). Jadi, kematian bukanlah degradasi maupun penghancuran namun sebaliknya yaitu merupakan perjalanan naik mendekati Kekasih yang sesungguhnya yaitu Tuhan. Bagi kalangan sufi, cinta (mahabbah) yang sesungguhnya hanya untuk kekasihnya.
Menurut tradisi agama-agama, kematian bukan akhir perjalanan hidup manusia. Dalam Islam, kematian bukan merupakan terminal akhir melainkan sebuah garis transisi untuk memulai hidup baru. Dalam bahasa Arab, dunia berarti hidup yang dekat, sekarang. Sedangkan akhirat adalah kehidupan yang kekal abadi.
Azab merupakan proses cleaning (pembersihan) dari utang-utang dosa di dunia dan menumpuk. Sedangkan konsep tentang surga dan neraka sebagai “imbalan” dari segala hal yang telah dikerjakannya di dunia.
Sebab akibat
Immanuel Kant telah merumuskan hukum sebab akibat dalam wacana filsafat. Pertama, adanya keyakinan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk menentukan dan memilih jalan hidupnya. Kedua, adanya kehidupan setelah kematian. Ketiga, Tuhan akan menyelenggarakan pengadilan di akhirat secara fair, adil dan tuntas (Ali Syariati, 1985 & Komarudin Hidayat, 1993).
Ketiga hal tersebut di atas, esensinya merupakan rukun iman dalam Islam. Kebebasan (free will) merupakan salah satu ciri manusia untuk memilih jalan hidupnya. Kebebasan merupakan prasyarat untuk melakukan tindakan moral, artinya tanpa adanya tindakan kebebasan itu, manusia tidak akan mampu menilai perbuatannya baik atau buruk, orang jahat atau orang baik. Dalam Islam, manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya. Ketika Tuhan menciptakan manusia dengan sifat bidimensionalnya, antara kebaikan dan keburukan, manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan di antara keduanya.
Kendati Tuhan memberi kebebasan yang begitu tinggi kepada manusia namun dalam setiap pilihannya manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh pilihan hidupnya. Pilihan antara iman atau kafir, beragama atau tidak beragama dan sebagainya adalah buah dari kebebasan, jelas akan membuahkan hasil bagi setiap individu masing-masing. “Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh, kecuali yang diusahakannya, dan bahwasannya semua usahanya kelak akan diperlihatkan (kepadanya),” (QS.53: 38-40).
Sedangkan kata kafir, sebagai lawan dari kata iman adalah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai makna sama dengan cover dalam bahasa Inggris, yaitu orang yang menutup cahaya kasih dan petunjuk Tuhan sehingga dia akan berjalan di lorong kegelapan. Untuk itulah kita sepakat bahwa keadilan yang sesungguhnya telah diciptakan-Nya, seiring dengan perilaku ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia bahwa ada kehidupan abadi setelah kehidupan di dunia ini.
Ada berbagai cara manusia untuk memahami hidupnya sebagai bagian dari perjalanan spiritualitasnya. Bagi mereka yang percaya kepada Tuhan, pasti akan memberi servis, pelayanan kepada Tuhan dengan sebaik-baiknya dalam bentuk kesadaran Ketuhanan (God consciousness) sebab Tuhan Maha Hadir (omnipresent) dan Maha Mengetahui (omniscience). Bahkan sangat memungkinkan, dengan meminjam bahasa kaum sufistik, menyatunya dengan Sang Pencipta.
Jadi, merenungkan makna kematian bukan berarti kita harus pasif, tidak berbuat sesuatu atau bersifat fatalistik, namun sebaliknya harus lebih serius menjalani hidup dan kehidupan.
- Oleh : Tri Widodo Alumnus Pascasarjana Pendidikan Sejarah UNS