REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah dinilai diskriminatif dengan hanya mengatakan terjadi kekurangan guru di sana dengan jumlah sekian. Jika pemerintah perhatian, seharusnya memperhatikan guru honorer dan guru swasta untuk kemudian diberdayakan.
''Janji keterlambatan pembayaran tunjangan serta sertifikasi juga harus segera dibayarkan,'' ujar anggota DPD Sulistiyo, Sabtu (21/8).
Oleh karena itu, kata Sulistiyo, atas nama DPD Jawa Tengah, ia melayangkan surat ke Menteri Keuangan dan juga ke Menpan dan Reformasi Birokrasi. Surat ke Menkeu No 29/DPDRI-Jateng/VIII/2010, berkaitan dengan keterlambatan pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG) dan Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNS yang belum memperoleh TPG.
Berdasarkan Permenkeu No 117 dan 119 tahun 2010 ini TPG sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang sudah bersertifikasi, untuk 6 bulan, terhitung Januari-Juni 2010, hendaknya dibayar paling lambat Juli 2010. Tetapi ternyata sampai Agustus ini banyak daerah yang belum membayarnya. Ada daerah yang sudah membayarkan dan ada yang hanya lima bulan, dengan alasan uangnya kurang.
Demikian juga pembayaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru Pegawai Negri Sipil (PNS) yang belum mendapat TPG sebesar Rp 250.000,00 / bulan. Berdasarkan Permenkeu itu mestinya untuk 6 bulan pada tahun ini sudah harus terbayar paling lambat Juli 2010. ''Ternyata sampai saat ini masih banyak yang belum terbayar,'' ungkap Sulistyo.
Dana itu tak bisa digunakan untuk keperluan lain, jadi harus untuk itu peruntukannya. Selanjutnya, Sulistiyo meminta agar Menkeu melakukan langkah-langkah serius agar TPG maupun dana tambaan itu segera dibayarkan. "Jika tak ditindaklanjuti, itu bisa menjadi preseden buruk, karena berdasarkan pidato Kenegaraan Pengantar Nota Keuanan di hadapan Sidang Paripurna DPRRI dan DPD RI dana transfer ke daerah jumlahnya semakin besar,'' demikian Sulistyo.
Yang aneh itu DKI Jakarta, kata Sulistiyo, dana tambahan untuk guru malah belum dibayarkan sejak Januari 2009. "Kalau bukan untuk guru biasanya tertib, tapi jika untuk guru sering disepelekan. Itu deskriminatif,'' tudingnya.
Surat No 30/DPDRI-Jateng/VIII/2010 ke Menpan dan RB, berkaitan dengan surat Edaran Menpan dan RB No 05/2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer yang bekerja di instansi pemerintah. "Surat edaran itu menimbulkan keresahan, terutama para guru yang mengabdi di sekolah swasta,'' jelasnya.
Dalam edaran itu hanya ada dua kategori, yaitu kategori I, tenaga honorer yang memperoleh imbalan/penghargaan dari APBN/APBD. Bekerja di instansi pemerintah, yang berusia sekurang-kurangnya 19 tahun dan tidak boleh lebih dari 46 tahun pada 1 Januari 2006. Masa kerjanya minimal satu tahun pada 31 Desember 2005. Kategori II, mereka yang memenuhi syarat seperti kategori I tetapi memperoleh penghasilan dari sumber lain, bukan APBN/APBD.
Sulistiyo menyatakan, "Edaran itu, terutama untuk institusi pendidikan, jelas sangat deskriminatif. Tidak sesuai kondisi di masyarakat. Menyakiti dan mengganggu rasa keadilan.''
Sulistiyo mengingatkan, banyak guru yang telah mengabdi bertahun-tahun di sekolah swasta. ''Terlebih guru Taman Kanak-Kanak (TK), karena TK negeri memang sangat sedikit, 1 kabupaten hanya 1 TK,'' jelasnya.
Guru yang memenuhi syarat itu tetapi karena mengabdi di sekolah swasta/madrasah, ternyata sama sekali tidak diberi kesempatan. ''Itu tidak adil, sebaiknya surat edaran ditinjau kembali, atau dibuat edaran baru yang memuat kategori ke-3, bagi mereka yang bekerja di sekolah swasta,'' tegas Sulistiyo.