JOURNALISTIK SPENSA WONOGIRI
Mata pelajaran (mapel) Bahasa Indonesia bisa jadi momok dalam ujian nasional (UN) selain mapel lainnya yang ditakuti seperti Matematika dan Bahasa Inggris.
Hal ini terjadi karena sistem UN sangat menitikberatkan pada aspek kognitif yang cenderung teoritis dan bertolak belakang dengan kurikulum Bahasa Indonesia yang mulai menitikberatkan soal praktik.
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia PBSI IKIP PGRI Semarang Harjito mengatakan, sistem UN berpeluang untuk melemahkan pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.
Harjito yang mengkritisi banyaknya siswa tidak lulus UN, karena terjegal mapel yang satu ini berpendapat, sistem pengajaran bahasa Indonesia sudah cukup baik, namun sistem evaluasi lewat UN justru kacau.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Semarang saja misalnya, mapel Bahasa Indonesia ternyata pada UN ulangan SMA/MA/SMK tahun ini menjadi tingkat teratas yang memiliki peserta terbanyak mengulang yaitu 730 siswa. Sedangkan untuk mapel Bahasa Inggris, peserta ujian yang mengulang ada 569 siswa, dan Matematika 462 peserta.
”Kurikulum Bahasa Indonesia menitikberatkan pada masalah praktik, sementara sistem UN justru pada aspek kognitif yang terlalu teoritis,” jelas harjito, kemarin.
Aplikasikan Teori Seharusnya, lanjut dia, siswa bisa mengaplikasikan teori dan kurikulum yang saat ini berjalan sebenarnya mengarah ke jalan yang benar, sehingga ia menilai, sistem evaluasi kurang baik. Menurutnya, jika ada banyak siswa mengalami kegagalan dalam UN bukan karena mereka tidak pandai, tetapi lebih pada sistem evaluasinya yang tidak sinkron dengan kurikulum.
Dengan semakin banyak kegagalan dalam UN mapel Bahasa Indonesia, Harjito mengkhawatirkan pelajaran yang satu ini akan bisa menjadi hambatan bagi kelulusan siswa ke depannya.
Bukan tidak mungkin mapel Bahasa Indonesia akan lebih ditakuti siswa dibandingkan Matematika yang memang selalu menjadi momok. ”Perlu dikaji lebih mendalam soal UN terutama Bahasa Indonesia. Jika sistem salah jangan sampai siswa jadi korban,” ungkapnya.
Sangat disayangkan jika kurikulum sudah tepat dengan aplikasi yang sesuai, namun bila evaluasi tidak mendukung, dikhawatirkan bukan kemajuan yang terjadi, tetapi kemunduran.